Minggu, 09 September 2012

Fatimah putri Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam


Beliau adalah sayyidah wanita seluruh alam pada zamannya, putri keempat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ibunya Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.Allah menghendaki kelahiran Fathimah kurang dari lima tahun sebelum Nabi diutus, dekat dengan peristiwa yang agung yaitu di saat orang-orang Quraisy rela menyerahkan hukum kepada Muhammad tentang perselisihan yang hebat di antara mereka untuk meletakkan Hajar Aswad setelah diadakan pembaharuan Ka`bah. Beliau Alaihis Shalatu Wassalam dengan kecerdikan akalnya mampu menyelesaikan problem dan mencegah pertumpahan darah antara kabilah-kabilah di Arab.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kabar gembira dengan kelahiran putrinya dan nampaklah barakah dan keberuntungan dengan kelahiran putrinya. Beliau memberikan julukan kepada Fathimah dengan “az-Zahra”. Beliau dikunyahkan pula dengan Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). [1] Beliau radhiyallahu ‘anha adalah yang paling mirip dengan ayahnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Fathimah tumbuh dalam rumah tangga nabawi yang penuh kasih sayang. Nabi melindungi dan menjaganya dan tekun mendidik beliau agar beliau mengambil bagian yang cukup dari adab, kasih sayang dan nasihat nabawi yang lurus. Hal yang menggembirakan ibunya, Khadijah adalah sifat Fathimah yang baik, lemah lembut dan terpuji.
Dengan sifat-sifat itulah Fathimah tumbuh di atas kehormatan yang sempurna, jiwa yang berwibawa, cinta akan kebaikan dan akhlak yang baik mengambil teladan dari ayahnya Rasulullah yang menjadi contoh agung bagi Fathimah dan sebagai teladan yang baik dalam seluruh tindak-tanduknya.
Manakala usia Fathimah mendekati usia lima tahun, mulailah suatu perubahan besar dalam kehidupan ayahnya dengan turunnya wahyu kepada beliau. Sehingga Fathimah turut merasakan mula pertama ujian dakwah. Beliau menyaksikan dan berdiri di samping kedua orang tuanya serta membantu keduanya dalam menghadapi setiap mara bahaya.
Beliau juga menyaksikan serentetan tipu daya orang-orang kafir terhadap ayahnya yang agung, Sehingga beliau berangan-angan seandainya saja dia mampu, maka akan ditebus dengan nyawanya untuk menjaga beliau dari gangguan orang-orang musyrik. Hanya saja ketika itu beliau masih kecil.
Di antara penderitaan yang paling berat pada permulaan dakwah adalah pemboikotan yang kejam yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap kaum muslimin bersama Bani Hasyim pada suku Abu Thalib. Sehingga pemboikotan dan kelaparan tersebut berpengaruh kepada kesehatan beliau. Sehingga sisa umurnya yang panjang beliau alami dengan lemahnya fisik.
Belum lagi Az Zahra’ kecil keluar dari ujian pemboikotan, tiba-tiba wafatlah ibunya yaitu Khadijah radhiyallahu ‘anha yang menyebabkan jiwa beliau penuh dengan kesedihan, penderitaan dan kesusahan.
Setelah wafatnya ibunda beliau, beliau merasakan ada tanggung jawab dan pengorbanan yang besar dihadapannya untuk membantu ayahnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang meniti jalan yang keras di jalan dakwah kepada Allah. Terlebih-lebih setelah wafatnya pamanda beliau Abu Thalib dan istri beliau yang setia yakni Khadijah.
Sehingga berlipat gandalah kesungguhan dan beban Fathimah dalam memikul beban dengan sabar dan teguh mengharap pahala Allah. Beliau mendampingi sang ayah dan maju sebagai pengganti tugas-tugas ibunya yang mana ibunya dalah seorang ibu yang paling utama dan istri yang paling mulia. Dengan sebab itulah Fathimah diberi gelar dengan “Ibu dari ayahnya”.[2]
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan bagi para shahabat untuk hijrah ke Madinah. beliau menjaga rumah yang agung yang mana tinggal pula di dalamnya Ali bin Abi Thalib yang mempertaruhkan jiwanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidur di tempat tidurnya Rasulullah untuk mengelabuhi orang-orang Quraisy (agar mereka menyangka bahwa Nabi belum keluar). Selanjutnya Ali menangguhkan hijrah beliau selama tiga hari di Makkah untuk mengembalikan titipan orang-orang Quraisy yang dititipkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah berhijrah.[3]
Setelah hijrahnya Ali, maka hanya Fathimah dan saudara wanitanya Ummi Kultsum yang masih tinggal di Makkah sampai Rasulullah mengirimkan sahabat untuk menjemput keduanya yakni pada tahun ketiga setelah hijrah. Ketika itu umur Fathimah telah mencapai 18 tahun. Beliau melihat di Madinah para muhajirin dapat hidup tenang dan telah hilang rasa kesepian tinggal di negeri asing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshor sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Ali radhiyallahu ‘anhu sebagai saudara.[4]
Setelah menikahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha maka orang-orang utama di kalangan sahabat mencoba melamar az-Zahra` setelah mereka tadinya menahan diri karena keberadaan dan tugas Fathimah di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara sahabat yang melamar az-Zahra` adalah Abu Bakar dan Umar, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak dengan cara yang halus.[5]Kemudian Ali bin Abi Thalib- mencoba mendatangi Nabi untuk meminang Fathimah. Ali bercerita:
“Aku ingin mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminang putri beliau yaitu Fathimah. Aku berkata. “Demi Allah aku tidak memiliki apa­-apa.” Kemudian aku ingat akan kebaikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka aku beranikan diri untuk meminangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Apakah kamu memiliki sesuatu?”
Aku berkata, “Tidak ya Rasulullah.” Kemudian beliau bertanya, ‘Lantas di manakah baju besi al-Khuthaimah yang pernah aku berikan kepadamu pada hari lalu?” “Masih aku bawa ya Rasulullah.” Jawabku. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikanlah barang itu kepada Fathimah sebagai mahar.”[6]
Kemudian segeralah Ali pergi dan sebentar kemudian datang dengan membawa baju besi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada beliau untuk menjualnya, kemudian hasilnya sebagai perlengkapan pernikahan.[7] Akhirnya baju besi tersebut dibeli oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dengan harga 470 dirham. Lalu Ali menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menyerahkan sebagian uang tersebut kepada bilal untuk dibelikan parfum dan wewangian, sedangkan sisanya diserahkan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha untuk dibelikan perlengkapan pengantin.
Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang para sahabat dan mempersaksikan kepada mereka bahwa beliau telah menikahkan putrinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib dengan mahar 400 mitsqal perak menurut sunnah yang lurus dan berdasarkan faridhah yang wajib. Beliau mengakhiri khutbah nikahnya dengan memohonkan barakah kepada Allah bagi kedua mempelai serta mendoakan mereka agar menjadi keluarga yang shalih. Setelah itu beliau menyambut para tamu yakni para sahabat yang mulia yang tersedia di hadapan mereka dengan buah kurma.[8]
Pada malam pernikahan Az Zahra` bersama Farisul Islam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ummu Salamah agar membawa pengantin putri ke rumah Ali bin Abi Thalib yang telah dipersiapkan sebagai tempat tinggal mereka berdua, dan beliau meminta agar mereka berdua menunggu beliau di sana.
Setelah shalat Isya`, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi keduanya, kemudian beliau meminta diambilkan air dan beliau berwudhu dengannya lalu menuangkan air tersebut kepada mereka berdua seraya berdoa:
“Ya Allah berkahilah keduanya, berikanlah barakah atas mereka don berkahilah keturunan mereka berdua. [9]
Maka bergembiralah kaum muslimin dengan pernikahan az-Zahra’ dan imam Ali radhiyallahu ‘anhu. Datang pula Hamzah paman Rasulullah dan juga paman Ali dengan membawa dua biri-biri kemudian disembelih lalu para sahabat memakannya di Madinah.
Belum genap satu tahun setelah pernikahan keduanya, Allah mengaruniakan penyejuk pandangan kepada Fathimah dan kekasihnya dengan lahirnya cucu pertama dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi nama Hasan bin Ali pada tahun ketiga setelah hijrah. Sehingga hal itu menggembirakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kegembiraan yang besar, maka didengungkanlah adzan ke telinga bayi, dan digosoklah langit-langit mulut bayi tersebut dengan kurma serta diberi nama “Hasan”, lalu digundullah kepalanya dan disedekahkanlah perak seberat rambut tersebut kepada orang-orang fakir.
Belum lagi umur Hasan berumur satu tahun menyusul kemudian lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun 4 Hijriyah.[10]
Maka terbukalah hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kedua cucunya yang berharga yakni Hasan dan Husein. Sungguh beliau melihat bahwa kedua cucunya memiliki arti khusus bagi kehidupan beliau di muka bumi ini, maka beliau melimpahkan kecintaan dan kasih sayang yang dalam kepada keduanya. Tatkala turun ayat:
“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. al-Ahzab: 33)
Adalah Nabi ketika itu bersama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan beliau mengundang Fathimah, Ali, Hasan dan Husein kemudian beliau menyelimuti mereka dengan kain seraya berdoa:
“Ya Allah inilah ahli baitku, ya Allah, hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan sebersih-bersihnya.”
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali kemudian beliau melanjutkan doanya:
“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu dan barakah-Mu terlimpah kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkannya kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia. “[11]
Kemudian diikuti buah yang penuh barakah yakni Fathimah mela­hirkan anak wanita pada tahun 5 Hijriyah yang oleh kakeknya diberi nama Zainab. Setelah berselang dua tahun lahir seorang anak wanita lagi yang diberi nama oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ummi Kultsum.
Karena itulah Allah telah mengaruniakan kepada az-Zahra’ nikmat yang agung karena keturunan Nabi hanya diteruskan oleh anaknya, demikian pula Allah telah menjaga mereka yang memiliki silsilah keturunan yang paling mulia yang dikenal oleh manusia.
Karena kecintaan Rasulullah kepada putrinya yakni Fathimah, apabila pulang dari safar, beliau masuk masjid lalu shalat dua rakaat kemudian mendatangi Fathimah baru kemudian mendatangi istri-istri
beliau. Telah diceritakan oleh Ummul mukminin Aisyah “Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam berbicara melebihi Fathimah, apabila dia masuk menemui Nabi, maka Nabi berdiri untuk menyambutnya dan menciumnya serta melapangkan tempatnya. Begitu pula sebaliknya perlakuan Fathimah terhadap Nabi.”[12]
Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kecintaannya kepada putri beliau yang mulia tatkala beliau berkhutbah di mimbar:
“Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dagingku, maka barangsiapa yang menjadikan dia marah berarti telah menjadikan aku marah.
Dan dalam riwayat lain:
“Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari potongan dagingku, maka barangsiapa yang mendustainya berarti mendustaiku dan barangsiapa yang mengganggunya berarti dia mengganggu diriku. “[13]
Bersambung ke Fatimah az Zahra [Bag.Kedua]
Foot Note:
[1] Lihat Siyar A’lam an Nubala’ (I/119)
[2] Al-Ishabah dan Asadul Ghabah (VII/25).
[3] Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (II/129).
[4] Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (II/150) dan al-Istii’ab (III/1098).
[5] Thabaqat Ibnu Sa’ad (VII/11).
[6] Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIII/12).
[7] Shahih al-Bukhari dalam Kitabul Buyu’ dan Musnad Ahmad (I/142).
[8] Al-Ishabah (VIII/158)
[9] Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIII/15) dan al-Ishabah (VIII/158).
[10] Sebagai tambahan tentang biografi Hasan dan Husein lihatlah biografi keduanya dalam kitab al-Manaqib dari Shahih al-Bukhari dan al-Fadha’il dari Shahih Muslim.
[11] Lihat Shahih Muslim dalam Fadha’il ash-Shahabah pada bab: Keutamaan Ahli Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, no. 2424. al-Musnad (IV/107). (VI/292) dan al-Hakim (III/146-147).
[12] HR. Abu Dawud dalam al-Adab. bab: Berdiri, no. 5217; at-Tirmidzi dalam al-Manaqib pada bab: Managib Fathimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, no. 3871 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (111/154) dishahihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[13] HR. al-Bukhari dalam Fadha’ilush Shahabah pada bab: Keutamaan Putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, no.2449
Sumber: “Mereka Adalah Para Shahabiyah”, Mahmud Mahdi al Istanbuli & Musthafa Abu an Nashir asy Syalabi, Penerbit at Tibyan
Artikel: www.kisahislam.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar